Nabi Muhammad pada suatu kali didatangi oleh orang Badui yagn kasar.
Orang dari pedalaman arab itu memnita gandum dan kurma sambil menarik kerah
gamis Nabi hingga leher beliau tampak sedikit lecet. "Bukankah engaku
Muhammad suka memberi kepada orang dengan suka hati," ujar Badui itu. Para
sahabat seperti Umar Bin Khattab sampai marah dan hendak menangani Badui itu.
Tapi Nabi melarangnya, sambil tersenyum beliau memberikan apa yang diminta
Badui itu.
Pada kesempatan lain Nabi membagikan harta rampasan perang. Ada orang
yang bicara di belakang menggunjing Nabi yang dianggap tidak adil. Berita tak
menyenangkan itu sampai kepada Nabi. Nabi sampai merah rona mukanya, namun
beliau mampu menahannya. Nabiyyullah itu berkata : "Semoga Allah mengasihi
saudaraku Musa alaihissalam, yang diperlakukan buruk dan menyakitkan sekalipun,
Musa selalu sabar menghadapinya." Nabi begitu tendah hati untuk mencontoh
kebaikan para Nabi sebelumnya.
Nabi akhir zaman itu dikenal memiliki sifat al-hilm, lembut dan lapang
hati, hatta ketika marah sekalipun. Sifat al-hilm bukan dungu tanpa rasa marah,
tetapi juga jauh dari sifat ghadhab atau tahawwur alias serba mudah marah.
Inilah sifat yagn dilukiskan dalam Al-Qur'an : "Maka disebabkan rahmat
dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu
bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya"(Ali Imran:159).
Para pengikut Nabi Muhammad tentu harus meneladani sifat nabi yang halus
dan lapang hati itu, jika mengklaim diri ingin mengikuti Sunnah. Mengikuti
Sunnah bukan sekedar yang gampang dan menyenangkan, lebih-lebih sekedar
atribut-atribut fisik dan luaran. Mengikuti jejak Nabi tidak kalah penting dan
utama adalah urusan-urusan yang berat, termasuk dalam berperilaku sehari-hari
yang menyangkut kendali diri seperti menahan marah dan lapang hati dalam
menghadapi hal-hal yang tidak enak. Bukan dalam urusan yang enak dan mudah
belaka.
Bersikap baik dan lapang hati terhadap orang yang berbuat baik tentu
dianjurkan, namun lumrah sifatnya. Wajar kalau kebaikan orang dibalas dengan
kebaikan serupa. Namun berbuat baik atau setidak-tidaknya lapang hati teradap
orang yang berbuat buruk terhadap diri kita, sungguh merupakan sifat utama.
Nabi memberikan teladan dalam bersikap al-hilma seperti itu, yang memerlukan
pengorbanan hati dan jiwa untuk bersabar lebih dari standart kelumrahan. Inilah
mutiara sikap dan tindakan yang mulia dalam berinteraksi dengan sesama, yang
memerlukan latihan batin sejak dini. Di sinilah ajaran ihsan, yakni kebaikan
yang berlipat ganda atau berada dalam tingkatan tinggi.
Lazim orang berbuat setimpal, ketika marah dibalas dengan marah, tatkala
memperoleh tindakan yang tidak menyenangkan dibalas dengan perbuatan sejenis.
Malah ada kebanggaan kalau membalas keburukan dengan keburukan yang setara,
marah dengan marah, keangkuhan dibalas dengan keangkuhan serupa. Orang betawi
bilang, Lu Jual Gue Beli, baik dibalas baik, buruk dibalas buruk, sehingga
impas. Pada titik inilah lalu terjadi perseteruan, permusuhan, dan konflik antar
sesama yang tak berkesudahan. Ego mengalahkan segalanya.
Nabi bukan tanpa rasa marah. Beliau juga bisa marah, lebih-lebih jika
berususan dengan kebenaran atas sesuatu hal. Ketika larangan Allah dilanggar,
Nabi marah. Namun meski menyangkut urusan ajaran Islam pun, menurut pengakuan
Aisyah dan para sahabat terdekat, kemarahan Nabi tetap terkendali dan tidak
melampaui batas. Sifat al-hilm dan sabar tetap menjiwai sikap Nabi dalam
menghadapi keadaan yang berat sekalipun. Itulah pantulan dari akhlak mulia
Rasulullah sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an : "Dan sungguh engkau
Muhammad benar-benar berbudi pekerti yang agung"(Al-Qalam:4).
Aisyah memberikan pengakuan. Ketika dirinya marah, Nabi seraya
mengingatkan istri tercintanya dengan anjuran ucapkanlah : "Ya Allah,
Tuhan Nabi Muhammad, ampunilah dosaku dan hilangkanlah kemarahan hatiku serta
lindungilah aku dari fitnah yang menyenangkan". Lalu Nabi memberi cara
bagaimana mengatasi rasa marah. Ketika marah dalam keadaan berdiri maka
duduklah. Ketika marah dalam keadaan duduk maka berbaringlah. Namun manakala
sudah berbaring masih juga marah, maka ambillah air wudlu, karena
"sesungguhnya yang bisa memadamkan api itu air," sabda Nabi. Tetapi
kalau sudah berwudlu masih juga marah, boleh jadi ada yang harus dimuhasabah
dalam diri kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar